Sabtu, 27 Julai 2013
This is my school, I hope pelajar yang nak masuk kat sini bukan kerana bangunan tapi mahukan ilmu agama Allah..bangunan yang besar sesuai dengan peraturan..nyer..bangunan akaedemik ada 4 lift..Alhamdulillah dah masuk sebulan lebih kat sini..setakat nie masih sempurna...Semoga Allah meninggikan martabat orang islam yang berilmu di dunia ini..
Jumaat, 12 Julai 2013
MArhaBan Ya RaMAdHaN
Lirik Lagu Ramadhan Tiba - Opick
Ramadhan tiba 3X
Marhaban Ya Ramadhan 4X
Ramadhan tiba 3X
Marhaban Ya Ramadhan 4X
Ramadhan tiba semua bahagia
Tua dan muda bersuka cita
Bulan ampunan bulan yang berkah
Bulan terbebas api neraka
Andaikan saja Ramadhan semua
Bulan yang tiba bulan yang ada
Karena besarnya setiap pahala
yang di janjikan kepada kita
Marhaban Ya Ramadhan 4X
Dalam bersahur ada pahala
Dalam berbuka alangkah indah
Menahan diri menahan lidah
Menjaga hati menjaga mata
Banyakkan amal hari-harinya pahala
Datang berlipat ganda
Berlomba-lomba untuk ibadah
Dunia bahagia surga nanti gantinya
Ramadhan tiba 3X
Ramadhan tiba 3X
Dan semoga setiap jiwa
Diberikan ampunan-Nya
Dan semoga hapus semua
Kesalahan setiap jiwa
Marhaban Ya Ramadhan 4X
Marhaban Ya Ramadhan 4X
Marhaban Ya Ramadhan 4X
Marhaban Ya Ramadhan 4X
HAssan AlBAnna rahimAllahi
SEJARAH
SURAM IKHWANUL MUSLIMIN
Oleh: Al-Ustadz Qomar ZA,
Lc.
Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.
Ikhwanul Muslimin,
gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah
gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya
benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian
senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah
sepeninggalnya.
Untuk mengetahui lebih
dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan
berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.
Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.
Selanjutnya ia masuk ke
Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk
menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini
adalah awal perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah
organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika
di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya.
Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul
Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia
berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan
majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan
oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di
antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh
Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif
dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak
ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama
di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana.
Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum
Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid
maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang
nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya.
(Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
Di antara aktivitas
selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat
ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan
amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang
mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar
lebih menghayati hakekat kematian nanti.
Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu.”
Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya menda-pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan amalan tarekat itu.”
Karena faktor tertentu,
akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah
Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad
As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna
mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi
perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih
sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan
organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”
Al-Banna menghabiskan
waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa
itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad
Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi
pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh
Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan
melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk
jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam
benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di
warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada
akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di
Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar
di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada
tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari
seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi
perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat
berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir
panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan
berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun
dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan
Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulqa’dah
1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya
mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama
bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu
muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun,
dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar
Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar.
Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali.
Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi
jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan
dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada
ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan
Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri
kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.
Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian sejarah ringkas
Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin
berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang
yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya
dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang
suram. Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari
sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai
kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna
sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang
diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara
bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun
campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah,
dan seorang yang berakidah salafi.
Warna-warni sosok pendiri
tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga
warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam katakan:
تَرَكْتُكُمْ
عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا
“Aku tinggalkan kalian di
atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah,
Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul
Jannah no. 33)
Untuk melihat lebih dekat
dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.
Pandangan
Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
Sekilas, dari sejarah
singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu
tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di
sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau
tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.
Pertama:
Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah
Tentu pembaca tahu, bahwa
bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Semua bid’ah itu sesat.”
(HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Kata-kata ini senantiasa
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga katakan:
لَعَنَ
اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً
“Allah melaknati orang
yang melindungi bid’ah.” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh
Lighairillah, no. 5096)
Yakni ridha terhadapnya
dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya,
Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri
ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah…
tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal.
122)
Ini menggambarkan usaha
untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil.
Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah
kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya
dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.
Karena prinsip ini, maka
realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan
kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham
yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa
kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam
bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).
Bahkan dengan kelompok
Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan
antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran
Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga
gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid
Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di
markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan
serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehing-ga musuh tidak menjadikan
perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan
muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara
Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan
semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah
muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan
inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih.
Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa
didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)
Benarkah dua kelompok itu
sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di
antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia
tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka
mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada
yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya
kepada Ali, bukan kepada Nabi n–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang
dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan
segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.
Kedua: Lemahnya Al-Wala`
dan Al-Bara`
Pembaca, tentu anda tahu
bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap
kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.
Abu ‘Utsman Ash-Shabuni
(wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat
untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi
mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri
kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123,
no. 175)
Tapi prinsip ini menjadi
luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu
terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan
aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah
menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya
As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya
tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama.
Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah
syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan
menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin
menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi,
firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil
dari Al-Maurid, hal. 163-164)
Apa yang pantas kita
katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ
“Apakah kamu beriman
kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?”
(Al-Baqarah: 85)
Ke mana hafalan
Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan
Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi
Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi n. Apakah ini semua tidak
pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?
Bukti lain tentang
lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani.
Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan
yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang
mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya.
Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana
dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya
adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani–
dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb,
ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)
Padahal Allah Azza wa
Jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُوْنَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di
luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)
Ketiga: Tidak Perhatian
terhadap Aqidah
Pembaca, aqidah adalah
hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah
demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak
bisa coba-coba. Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan
ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri
yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah.
Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang
datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka
mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya,
dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala,
sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu
dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah
pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)
Tauhid Al-Asma` dan
Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah
Azza wa Jalla. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah Azza wa Jalla dan
sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam Al-Qur`an atau
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits yang shahih.
Aqidah Ahlussunnah dalam
hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin
Anas Al-Ashbuhi, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya,
bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau
menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman
dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”
Ucapan Al-Imam Malik ini
minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu
diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain
seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya,
dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.
2. Tapi caranya tidak
diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena
Allah Azza wa Jalla tidak memberi-tahukan perincian tentang hal ini.
Demikian pula sifat-sifat yang lain.
3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.
3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.
4. Dan bertanya tentang
itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa
sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal.
Mereka beriman apa adanya, karena Allah k tidak pernah memberitakan perincian
tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni
mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan
pertanyaan: Bagaimana?
Dengan penjelasan di
atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita
ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah
ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini
adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits
tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di
awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.
Madzhab ini sangat
berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna
ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah t mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah
termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql
karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)
Bukti lain, ia hadir di
salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab,
lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung
kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan,
1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan
berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah k dengan perantara
seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’
(cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’
Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Pembaca, jika anda
mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam
Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul
(menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah)
telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah.
Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula
yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut
para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.
Keempat: Menganggap
Sepele Bid’ah dalam Agama
Sekilas telah anda
ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
katakan:
شَرُّ
اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
“Sejelek-jelek perkara
adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)
Oleh karenanya, Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ..
“Dan jauhi oleh
kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat,
dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Namun berbeda keadaannya
dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas
Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia
rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan
satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu
itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah
idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak
adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…”
(Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Ia hanya anggap
bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka
yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan
saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan.” Pada prakteknya, mereka
saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani,
apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.
Sedikit penjelasan
terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada
asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu
yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya
tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi
dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan
iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha
Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang
membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.
Bid’ah tarkiyyah, adalah
mening-galkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat
ber-taqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya
adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang
dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat
Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)
Kelima: Bai’at Bid’ah
Bai’at adalah sebuah
ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua
syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi n. Dalam sejarah Nabi dan para
shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah
memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka,
sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak
diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu
bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal.
165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai
agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul
Intima`, hal. 165)
Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan
kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang
ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf
(perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu
negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu
pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb
Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan
anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.
Sementara, Hasan Al-Banna
sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan
ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at
sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai
saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1.
Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8.
Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna,
hal. 268)
Untuk mengkaji kritis
secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup
untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas
bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan
pada point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode
kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini
adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal.
Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang,
bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)
Yakni taat komando secara
mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua
syarat:
1. Pada perkara yang
sesuai syariat.
2. Sebatas
kemampuan.(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)
Tahukah pula anda, apa
yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang
imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus
yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami
Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas
seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)
Pembaca, haruskah
seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa,
seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya
berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?
Anehnya juga, ketika
menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya
adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis
yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil
dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak
menyinggung masalah pembenahan aqidah.
Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)
Padahal, Al-Imam
Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul:
“Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan
dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala
berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka
ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku
atas dirimu wahai Abu Sa`ib (’Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah
memuliakanmu’. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: ‘Darimana
engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku
tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi n
mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku
tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari)
Wahai saudaraku, sadarlah
dan ambillah pelajaran….
(
http://asysyariah.com/print.php?id_online=303 )
Ahad, 7 Julai 2013
Ayat Kursi jantung Alqur'an
AYAT KURSI
MAKSUDNYA:
ALLAH,
TIADA ADA YANG BENAR DISEMBAH HANYA DIA YANG HIDUP DAN MAHA KAYA, TIDAK PERNAH
DITIMPA MENGANTUK DAN TIDAK PERNAH TIDUR.. BAGINYA SESUATU YANG ADA DI LANGIT
DAN YANG ADA DI BUMI, TIDAK BISA MEMBERI SYAFAAT KECUALI DENGAN IZIN-NYA.
IA MAHA MENGETAHUI SEGALA APA YANG TERJADI DI HADAPAN MEREKA DAN DI BELAKANG
MEREKA. TIDAKLAH MEREKA MELIPUTI ILMUNYA SEDIKIT JUGA KECUALI YANG
DIKEHENDAKINYA. LEBIH LUAS KURSINYA(SYIAR ATAS KEBESARAN TUHAN) DARI
SELURUH LANGIT DAN BUMI. TIDAKLAH SUSAH BAGINYA MEMELIHARA KEDUANYA. IA MAHA TINGGI DAN MAHA BESAR.
BEBERAPA KHASIAT AYAT KURSI:
*SIAPA YANG MEMBACA AYAT KURSI TIAP
KALI SELESAI SEMBAHYANG FARDHU, TIAP PAGI DAN PETANG, TIAP KALI MASUK KE RUMAH
DAN KE PASAR, TIAP KALI MASUK KE TEMPAT TIDUR, DAN PERGI MUSAFIR, INSYA-ALLAH IA
AKAN DIAMANKAN DARI GODAAN SYAITAN DAN DISELAMATKAN DARI KEJAHATAN MANUSIA DAN
KEJAHATAN BINATANG-BINATANG YANG MEMUDHARATKAN. TERPELIHARA DIRINYA,
KELUARGANYA, ANAK-ANAKNYA, HARTANYA, RUMAHNYA DARI KECURIAN, KEKARAMAN DAN KEBAKARAN,
DIKURNIAKAN KESELAMATAN DAN KESIHATAN JASMANINYA DENGAN IZIN TUHAN YANG HIDUP
DAN BERDIRI SENDIRI (MAHA KAYA)
*MEMBACA AYAT KURSI SESUDAH SELESAI
SEMBAHYANG FARDHU, TUHAN AKAN MENGAMPUNKAN DOSANYA, DAN SIAPA YANG MEMBACA
KETIKA HENDAK TIDUR, TERPELIHARA DIA DARI GANGGUAN SYAITAN DAN SIAPA MEMBACA
KETIKA DIA MARAH, MAKA AKAN HILANG RASA MARAHNYA..
Ahad, 2 Jun 2013
GOd sGiFT~
Langgan:
Catatan (Atom)